Teraturkah Alam Semesta Ini?

4 minute read
0
بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم


ALAM SEMESTA TERATURKAH?
Oleh : Arif Alfatah As Srageny
(Guru Fisika MA Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta)


Puasa hari ketujuh telah berlalu, kita lanjutkan renungan fisikanya pada bab keseimbangan benda tegar (bag. 1). Sejak pandemi yang lalu, ada seorang dokter ‘nyleneh’ penganut materialisme ilmiah radikal yang lumayan menjadi idola (‘nabi’) bagi para agnostik-ateis Nusantara karena pemaparannya yang blak-blakan dan sederhana, yang berulang-ulang ‘didakwahkannya’ kurang lebih;

“Siapa bilang alam semesta teratur? Siapa bilang ada yang mengatur? Alam semesta ini sejak awal terbentuk hingga sekarang entropinya meningkat alias tidak teratur, entropi (ketidakteraturan) di alam semesta menurut hukum Termodinamika akan menurun kadarnya dengan adanya peningkatan energi kinetik (kehidupan). Jadi, kehidupan ini alamiah melengkapi ketidakteraturan yang berjalan mengikuti prinsip evolusi. Tidak ada sepasang manusia pertama yang diturunkan, manusia itu sejenis primata yang bernama homo sapiens hasil alamiah evolusi. Alam ini bebas nilai, tidak ada baik dan buruk, yang ada adalah konsekuensi-konsekuensi alamiah”

Pembahasan kita fokuskan ke pernyataan di atas, tepatnya pada bagian keteraturan alam semesta, bukan membahas siapa itu dokter yang mungkin saja hanya berbicara dari sudut pandang sains modern (materialisme ilmiah) atau entah memang sudah menjadi keyakinannya.

Jawaban ringkas tentang pertanyaan “siapa bilang alam semesta teratur?”, mungkin yang bertanya belum mengenal tentang teori fractal dan chaos dalam fisika matematik bahwa di suatu sistem ketidakteraturan (acak) pasti memiliki pola yang teratur dan berulang. Sehingga, alam semesta secara keseluruhan meningkat entropinya (ketidakteraturannya) tetapi tetap berjalan secara teratur dan berpola.

Saintisme sebagai ‘Keyakinan’ yang Ilmiah

Secara empiris, keteraturan alam semesta ‘terlihat’ tidak memerlukan entitas tunggal untuk mengendalikannya. Sebaliknya, keteraturan muncul sebagai konsekuensi dari hukum-hukum fisika yang universal dan proses alami yang terjadi berdasarkan kondisi awal alam semesta. Hukum gravitasi Newton dan relativitas Einstein menjelaskan bagaimana planet, bintang, dan galaksi bergerak. Mekanika kuantum mengatur perilaku partikel subatom, meskipun tampak acak, tetapi masih memiliki distribusi probabilistik yang mengikuti aturan tertentu.

Model inflasi kosmik menunjukkan bahwa setelah Big Bang, letupan kecil dalam medan kuantum berkembang menjadi struktur besar seperti galaksi.Teori Fraktal dan Chaos menunjukkan bahwa bahkan sistem yang tampak acak memiliki pola mendalam yang dapat dijelaskan oleh matematika, dalam alam semesta (misalnya, distribusi galaksi, bentuk sungai, pola pertumbuhan pohon) muncul dari hukum sederhana yang diterapkan berulang kali. 

Evolusi dan dinamika kehidupan menunjukkan bahwa sistem bisa mengorganisir dirinya sendiri tanpa ada perintah dari luar. Cuaca, turbulensi zat alir, dan orbit planet dalam jangka panjang tampak acak tetapi memiliki pola tersembunyi. Gelombang kuantum dan probabilitas partikel menunjukkan bahwa keacakan pun bisa memiliki struktur yang dapat diprediksi secara statistik.

Maka, keteraturan dalam alam semesta bisa dijelaskan oleh hukum fisika dan proses alami, serta pola dalam ketidakteraturan bisa muncul secara alami sehingga tidak memerlukan entitas pengendali tunggal,Tuhan.

’Kebingungan’ Materialisme Ilmiah

Materialisme ilmiah berasumsi bahwa hukum fisika bisa ada dengan sendirinya, tanpa bisa menjelaskan lebih lanjut. Materialisme ilmiah mendasarkan evolusi dan kehidupan sebagai sistem mandiri, tetapi tidak bisa menjelaskan mengapa hukum fisika harus memiliki karakteristik yang memungkinkan kehidupan. Materialisme ilmiah berpendapat bahwa alam semesta hanyalah hasil dari proses fisika tanpa arah atau tujuan, sehingga menolak adanya makna objektif dan menyatakan bahwa makna hanyalah konstruksi subjektif manusia.

Materialisme ilmiah sangat kuat dan menyakinkan dalam menjelaskan mekanisme kerja alam (misalnya, evolusi dan proses fisika), tetapi ‘gagal menjawab mengapa’ alam semesta memiliki hukum yang memungkinkan kehidupan dan tidak bisa menjawab arah tujuan alam semesta alias ‘mengimani’ nihilisme.

Maka…

Kita sepakat keteraturan yang sangat kompleks alam semesta begitu sangat presisi dan berpola secara teratur. Kehidupan mungkin tidak bisa ada jika konstanta alam sedikit berbeda (fenomena fine-tuning) dan tidak bermula. Hal tersebut seharusnya ‘membuka peluang untuk mengimani’ bahwa alam semesta jelas dirancang dan adanya entitas tunggal yang mengatur hukum-hukum fisika sejak awal, serta adanya alam semesta jelas memiliki arah tujuan di desain dengan sengaja bukan kebetulan semata, sia-sia tanpa makna.

Di sinilah, filsafat dan agama menawarkan landasan bagi moralitas dan makna kehidupan alam semesta, sehingga keseimbangan hidup manusia akan selaras dengan keseimbangan alam semesta. Alloh berfirman;

“(Dia) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang.” (QS. Al Mulk: 3)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191).

============================

Renungan Dhuha Tadabur Ayat Semesta
Dari Pinggiran Sawah Kampus Terpadu Mu’allimin Jogja
Setu Wage, 8 Ramadhan 1446 H  - 8 Maret 2025 M

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)