Oleh:
Nidhal Guessoum
(Guru Besar Fisika dan Astronomi. American University of Sharjah, UEA)
Tafsirweb.com |
Kita sudah maju cukup jauh dari sains zaman Yunani Kuno, India, Tiongkok, bahkan zaman keemasan peradaban Arab-Muslim. Bumi tak lagi menjadi pusat jagat raya: alam semesta jauh lebih besar dan beragam dibanding yang pernah diimpikan bahkan pemikir-pemikir terbesar masa lalu: kehidupan dan manusia telah menjalani evolusi panjang, sebagaimana terawetkan di bebatuan dan DNA sel-sel kita. Yang paling penting, apakah perkembangan-perkembangan besar itu serta pandangan baru mengenai alam semesta dan manusia bertentangan dengan ajaran agama (Islam)?
Apa artinya untuk Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara sekalian alam dan hubungan (istimewa) Allah dengan kita?
Hal pertama dan terpenting yang kita mesti jelaskan dan tegaskan adalah bahwa fakta tidak bisa disangkal dengan alasan apa pun: kiranya itu seperti menyatakan Matahari sedang terbenam ketika semua orang lain bisa melihatnya di langit! Apa pun yang telah dipastikan melalui cara-cara objektif (oleh banyak orang dan kelompok, di berbagai latar, dengan berbagai , prosedur, dll.) mesti diterima.
Sebagian besar orang akan berkata “itu wajar saja", setidaknya pada prinsipnya, walau banyak yang tak tahu bagaimana membedakan "fakta" dengan “hipotesis”, model” dari “teori”, dll. Apa itu Fakta, hipotesis, model dan teori bisa dibaca di: Hipotesis, Fakta, Hukum dan Model
Muslim (dan yang lain) biasanya belum memahami “fakta”, kecuali kalau jelas-jelas menyiratkah sesuatu yang mereka tak ingin terima (setidaknya pada awalnya, seperti evolusi): keraguan paling sering diajukan terhadap "teori" seperti: “Tapi evolusi kan cuma teori, bukan fakta, jadi mengapa saya harus menerimanya?"
Di situ kita perlu membedakan antara teori sains (Ledakan Besar, evolusi, relativitas, mekanika kuantum, dil.), hipotesis, dan dugaan. Contoh terbaiknya adalah alam semesta jamak. Banyak ahli fisika telah mempostulasikan keberadaan miliaran alam semesta selain alam semesta kita, yang berbeda ciri (berbeda hukum, berbeda tipe zarah, berbeda nilai untuk berbagai ukuran seperti kecepatan cahaya, laju pengembangan, dll.), seperti gelembung sabun, beberapa tetap stabil dan lainnya kembali pecah menjadi buih pada berbagai saat dalam waktu (waktu mega, sebelum dan sesudah alam semesta kita). Alasan mempostulasikan hipotesis itu ada dua:
- agar tak perlu menjelaskan asal-usul alam semesta kita atau menjawab pertanyaan "ada apa sebelum Ledakan Besar?"
- memberi “penjelasan” bagi kesesuaian nilai-nilai di alam semesta kita, yang mana jika nilai kecepatan cahaya, besar muatan elektron, massa proton, kekuatan gravitasi, laju pengembangan, dan banyak lainnya berbeda sedikit saja, kita bukan hanya tidak ada di sini, kehidupan tak dapat muncul, dan tak ada struktur kompleks (galaksi, bintang, planet) dapat terbentuk.
Jika ada banyak sekali alam semesta di luar sana dengan nilai-nilai berbeda, maka tentu satu di antaranya setidaknya (secara kebetulan) memiliki nilai-nilai yang pas. Memang masih belum dijelaskan dari mana semua alam semesta itu berasal, tapi itu masalah lain. Intinya di sini adalah bahwa itu suatu dugaan, hipotesis, sudah diberi dasar teoretis rumit (“inflasi abadi", “bentang”, dil.) tapi tidak punya bukti yang didapat dari percobaan atau pengamatan, sebagian besar ahli fisika tak yakin kita akan pernah bisa memastikan kebenaran teorinya, sampai tingkat kepastian dan kesolidan teori Einstein, hukum Newton, teori Darwin, dan sebagainya.
Bersambung...........