Oleh : Arif Alfatah As Srageny
Masyarakat Indonesia tentu tidak akan asing dengan ungkapan “Kerja...Kerja...Kerja...” , sebuah ungkapan yang menyisakan pertanyaan jika dilihat lebih jelas. Ungkapan tersebut akan bermakna lebih mendalam jika ditinjau melalui lensa pandang fisika. Secara fisika apa makna mendalam di balik kata kerja? Dan bagaimana makna fisika tersebut jika kita tarik ke dalam keseharian?
Kerja dan Efisiensi Kerja
Secara bahasa, kata KERJA merupakan terjemahan dari asal kata WORK, tetapi entah kenapa disebagian besar praktisi fisika Indonesia sudah terlanjur menerjemahkan work dengan kata yang kurang tepat, yaitu USAHA. Secara fisika, kata kerja (W) digunakan untuk mewakili tenaga yang dipindah ke atau dari suatu benda melalui penerapan gaya (F) sepanjang perpindahannya (s). Kerja tidak selamanya bernilai positif, tetapi bisa juga bernilai nol, bahkan negatif. Dikatakan bernilai positif artinya melakukan kerja, bernilai nol artinya tidak teranggap melakukan kerja karena tidak ada perpindahan (perubahan posisi), dan bernilai negatif artinya jika malah dikenai kerja (dikerjai).
Kemampuan sebuah benda melakukan kerja di tinjau melalui kinerjanya. Sedangkan kinerja sebuah benda (mesin) diukur dari nilai efisiensinya, mesin kalor sebagai contohnya. Mesin kalor adalah perangkat apa pun yang bisa mengubah panas (kalor) secara parsial menjadi kerja atau tenaga mekanik. Contoh mesin kalor seperti lokomotif uap, mesin motor, mesin mobil, mesin pesawat terbang, mesin kapal.
Kerja dari sebuah mesin kalor merupakan selisih panas yang diserap dengan panas yang dilepas mesin. Efisiensi mesin merupakan perbandingan (nisbah) kerja yang mampu dilakukan mesin dengan panas yang diserap mesin.
Mudahnya, misalkan sebuah mesin dalam operasinya menyerap panas 100 dan melepas panas (limbah) 25, maka kerja mesin besarnya 75 dan efisiensinya 75%. Semakin besar nilai efisiensi mesin maka menunjukkan mesin tersebut kinerjanya bagus dalam mengubah panas menjadi kerja, dan sebaliknya. Tetapi, sebagaimana hukum kedua Termodinamika bahwa di alam semesta mustahil dijumpai efisiensi mesin (sistem) yang besarnya 100%, dengan kata lain tidak mungkin mesin mampu mengubah semua panas yang diserap menjadi kerja tanpa ada limbah yang dibuang.
Wallohua’lam, mungkin di alam akhirat kemustahilan tersebut akan terpatahkan, sebagaimana sinyalir info dari Rasululloh:
"Mereka itu di dalam syurga tidak akan mengeluarkan kotoran, kecil atau besar juga tidak pernah berludah dan beringus. Mereka diilhami untuk terus bertasbih serta bertakbir sebagaimana juga dikaruniainya pernafasan tanpa kesukaran dalam kesemuanya itu.(HR. Bukhori dan Muslim)
Efisiensi Kehidupan
Sekarang mari kita tarik pembahasan di atas ke dalam ‘mesin’ kehidupan diri kita, adakah kesejajarannya? Seseorang memiliki fitrah kemampuan dan rejeki yang berbeda-beda, sehingga beban dan tanggungjawab nilai efisiensi hidupnya juga berbeda-beda tergantung kapasitas potensi diri yang dianugerahkan Tuhan semesta alam. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
"Alloh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kapasitas dirinya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya"(QS. Al Baqoroh: 286)
Semakin besar kapasitas diri dan kuasa yang di amanahkan kepada seseorang, maka makin besar pula tanggungjawab peran yang harus dia lakonkan, juga berlaku sebaliknya. Mengingatkan pada ungkapan filosof yang dikutip oleh paman Ben ketika memberi wejangan kepada Parker dalam film Spiderman, yaitu “Great power comes great responsibility (Seiring datangnya kekuatan besar, di sana juga ada tanggung jawab yang besar)"
Sehingga efisiensi peran hidup seseorang diukur dari seberapa besar penunaian amanah atas anugerah kapasitas diri dan kuasa yang dimilikinya.
Kita ambil contoh profesi sebagai pendidik terkait perannya dalam mencerdaskan dan memperbaiki akhlak bangsa, seorang guru biasa idealnya berperan lebih besar dibandingkan rakyat biasa, seorang guru profesional idealnya berperan lebih besar dibandingkan guru biasa, seorang guru besar idealnya berperan lebih besar dibandingkan guru profesional, dan seorang guru bangsa idealnya berperan lebih besar dibandingkan guru besar.
Maka, bukanlah suatu kepatutan dan menjadi kebanggaan jika seseorang yang ditetapkan sebagai guru bangsa tetapi lakon yang dia perankan setelahnya sama seperti peran rakyat biasa yang diam tak berdaya atas berbagai fenomena budaya korupsi (yang dianggap biasa), ketidakadilan hukum, ketimpangan sosial, dan kerusakan moral di suatu bangsa. Artinya efisiensi keberadaannya sangat rendah, sehingga pantaslah malu dan segera bertaubat.
Masing-masing diri mari menengok kembali dan terus menggali potensi kapasitas diri yang diamanahkan kepadanya, maksimalkan perannya sehingga menaikkan efisiensi mesin hidupnya, dan bersiaplah menerima konsekuensi atas peran yang diambilnya. Janganlah hanya asal kerja...kerja...kerja...tetapi melupakan nilai efisiensi kerjanya. Sehingga tidak mengerti tentang dirinya, merasa sudah bekerja tetapi nilai kerjanya nol (tidak ada perubahan), atau bahkan kerjanya bernilai negatif alias tak melakukan kerja melainkan dikerjai oleh keadaan.
Terakhir, memang tidak mungkin efisiensi hidup kita mencapai 100%, oleh karena itu tetap bekerjalah dengan niatan lillah dan atas panduan teladan nubuwah, serta jangan marah/ alergi dengan penilaian orang lain. Alloh Subhanahu Wa Ta’ala berfirman;
"Bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rosul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS. At Taubah: 105).