Sumber: amsulbahrisbi.wordpress.com
Dari kutipan ini, agaknya Einstein ingin menunjukkan bahwa ilmu yang sejati adalah yang dapat mengantarkan kepada kepuasan dan kebahagiaan jiwa dengan bertemu dan merasakan kehadiran Sang Pencipta melalui wujud alam raya. Memang, dengan mengamati sejarah ilmu dan agama, ditemukan beberapa kesesuaian antara keduanya, antara lain dari segi tujuan, sumber, dan cara mencapai tujuan tersebut. Bahkan, keduanya telah mulai beriringan sejak penciptaan manusia pertama. Beberapa studi menunjukkan bahwa hakikat keberagamaan muncul dalam jiwa manusia sejak ia mulai bertanya tentang hakikat penciptaan (al-Baqarah/2: 30-38).
Lantas mengapa sejarah agama dan ilmu pengetahuan diwarnai dengan pertentangan? Diakui, di samping memiliki kesamaan, agama dan ilmu pengetahuan juga mempunyai objek dan wilayah yang berbeda. Agama (Al-Qur'an) mengajarkan bahwa selain alam materi (fisik) yang menuntut manusia melakukan eksperimen, objek ilmu juga mencakup realitas lain di luar jangkauan panca indera (metafisik) yang tidak dapat diobservasi dan diuji coba.
Allah berfirman, “Maka Aku bersumpah demi apa yang dapat kamulihat dan demi apa yang tidak kamu lihat.” (al-Ĥāqqah/69: 38).
Untuk yang bersifat empiris, memang dibuka ruang untuk menguji dan mencoba (al-‘Ankabūt/29: 20).
Namun demikian, seorang ilmuwan tidak diperkenankan mengatasnamakan ilmu untuk menolak “apa-apa” yang non-empiris (metafisik), sebab di wilayah ini Al-Qur'an telah menyatakan keterbatasan ilmu manusia (al-Isrā'/17: 85) sehingga diperlukan keimanan. Kerancuan terjadi manakala ilmuwan dan agamawan tidak memahami objek dan wilayahnya masing-masing.
Kalau saja pertikaian antara ilmuwan dan agamawan di Eropa pada abad pertengahan (sampai abad ke-18) tidak merebak ke dunia Islam, mungkin umat Islam tidak akan mengenal pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Perbedaan memang tidak seharusnya membawa kepada pertentangan dan perpecahan. Keduanya bisa saling membantu untuk mencapai tujuan. Bahkan, keilmuan yang matang justru akan membawa kepada sikap keberagamaan yang tinggi (Fāţir/35: 27).
Sejarah cukup menjadi saksi bahwa ahli-ahli falak, kedokteran, ilmu pasti dan lain-lain telah mencapai hasil yang mengagumkan di masa kejayaan Islam. Di saat yang sama mereka menjalankan kewajiban agama dengan baik, bahkan juga ahli di bidang agama. Maka amatlah tepat apa yang dikemukakan Maurice Bucaille, seorang ilmuwan Perancis terkemuka, dalam bukunya Al-Qur'an, Bibel, dan Sains Modern, bahwa tidak ada satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Inilah kiranya yang menyebabkan besarnya perhatian para sarjana untuk mengetahui lebih jauh model penafsiran Al-Qur'an dengan pendekatan ilmu pengetahuan.
Sumber: Tafsir Ilmi: EKSISTENSI KEHIDUPAN DI ALAM SEMESTA Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains