Mengapa temperatur beku dan didih air pada skala Fahrenheit memiliki angka aneh: 32 dan 212 derajat?
Untuk kejadian sehari-hari macam membeku dan mendidihnya air, kedua angka tersebut memang aneh, bahkan bagi mereka yang biasa menggunakannya. Angka-angka tersebut telanjur demikian karena seorang pembuat botol dan fisikawan amatir Jerman bernama Gabriel Fahrenheit (1686-1736) membuat beberapa keputusan buruk.
Peralatan untuk mengukur temperatur sudah ada sejak sekitar 1592, walaupun belum seorang pun tahu definisi temperatur, dan tidak seorang pun mencoba memasang angka-angka pada alat ukur itu.
Maka pada tahun 1714 Fahrenheit membuat tabung kaca berisi benang air raksa yang sangat tipis. Ia memilih benda cair itu karena cantik, mengkilap, dan mudah dilihat sewaktu naik atau turun akibat pemuaian atau penyusutan karena mengalami pemanasan dan pendinginan. Akan tetapi termometer Fahrenheit, seperti alat sejenis terdahulu, mirip jam tanpa angka. Terpikir olehnya untuk memasangangka-angka pada alatnya, maksudnya supaya orang lebih mudah membuat perbandingan.
Maka Fahrenheit mulai merancang seperangkat angka untuk dituliskan pada tabung kacanya. Namun susunannya harus sedemikian sehingga air raksa akan naik ke angka yang sama pada semua termometer ketika berada pada temperatur yang sama. Dan di sinilah Gabriel mulai berulah. Para sejarahwan mungkin masih berdebat soal jalan pikirannya sesungguhnya, namun cerita berikut mungkin cukup masuk akal.
Pertama, ia berpendapat bahwa karena sebuah lingkaran penuh memiliki 360 tahap yang disebut derajat, alangkah baiknya jika termometer pun memiliki 360 tahap-sekalian menyebutnya derajat-untuk rentang antara temperatur air beku dan temperatur air mendidih. Akan tetapi 360 akan menyebabkan tiap derajatnya terlalu kecil, maka sebagai ganti ia memilih 180.
Kini mantaplah satu derajatnya: yakni tepat 1/ 180 jarak pada tabung antara tanda air membeku dan tanda air mendidih. Selanjutnya ia masih bingung soal angka yang akan dipakai. Nol dan 180? 180 dan 360? Atau, 32 dan 212? (Bukankah 212 -32 = 180?)
Maka, ia memasukkan termometernya ke dalam sebuah campuran paling dingin' yang dapat dibuatnya-sebuah campuran antara es dan suatu bahan kimia yang disebut amonium klorida-dan disebutnya temperatur itu ”nol". (Dalam hal ini Anda terlalu arogan, Gabriel! Begitu yakinkah Anda bahwa orang lain tidak akan mampu membuat campuran lebih dingin? Soalnya, dua abad kemudian, orang dapat membuat temperatur hampir 460 derajat di bawah temperatur nol Anda.)
Ketika ia mengukur temperatur tubuhnya sendiri, termometernya naik sampai sekitar angka 100. (Baiklah, tepatnya 98,6, tapi jangan lupa menyimak mengapa angkanya demikian.) Itulah salah satu kelebihan Fahrenheit: Sebagai manusia ia ingin agar temperatur tubuh manusia mencatat angka 100 pada skala termometer.
Sesudah itu, ia memasukkan termometernya ke dalam campuran es dan air, dan menemukan bahwa air raksa di dalamnya 32 derajat lebih tinggi daripada temperatur nol campuran dinginnya. Maka, itu sebabnya titik beku air menjadi 32 derajat pada skala Fahrenheit. Akhirnya, jika temperatur air mendidih harus 180 derajat lebih tinggi dari itu, berarti ia mendapatkan angka 32 + 180, atau 212. Sampai di sini dulu cerita tentang Gabriel Fahrenheit.
Bersambung.........
==========================
Robert L. Wolke
(Guru Besar Emiritus Ilmu Kimia Universitas of Pittsburgh)