Oleh Agus Purwanto*
(Dosen Fisika Teori FMIPA ITS Surabaya, penggagas-pengasuh pesantren sains Trensains Sragen-Jombang)
STEPHEN Hawking adalah ilmuwan, tepatnya fisikawan teoretis. Sebagai ilmuwan, Hawking itu unik dan fenomenal. Unik karena prestasinya yang luar biasa dan telah dianugerahi 19 penghargaan bergengsi sejak yang pertama Adams Award 1966 sampai yang terbaru BBVA Foundation Frontier of Knowledge Awards 2015. Sayang, sampai wafatnya, Hawking tidak mendapat Nobel.
Bandingkan dengan fisikawan Jepang Toshihide Maskawa yang
karyanya tidak sebanyak dan sedahsyat karya-karya Hawking. Bahkan,
Maskawa hanya punya satu artikel tentang simpangan CP (sekawan muatan
dan paritas, charge conjugation-parity) yang terbit di jurnal Jepang
pada 1973. Tetapi, teori simpangan CP Maskawa bersama Makoto Kobayashi
telah menghidupkan kembali model standar yang telah mati. Model standar
adalah model dan kerangka utama dalam menjelaskan berbagai fenomena
fisika partikel saat ini. Maskawa, bersama sejawatnya, Kobayashi dan
Yoichiro Nambu, mendapat hadiah Nobel Fisika 2008. Nobel diberikan
kepada ilmuwan yang teorinya punya implikasi luas. Sementara itu, teori
Hawking bersifat spekulatif dan belum terkonfirmasi.
Fenomenal
karena Hawking sakit yang membuatnya lumpuh, bekerja di wilayah yang
keras perbatasan, dan sering membuat pernyataan keras serta menulis buku
populer. Di usia 21 tahun, Hawking diidentifikasi terserang penyakit
sklerosis lateral amiotrofik (amyotrophic lateral sclerosis/ALS alias
sang pemburu saraf otak) dan diprediksi hanya bisa bertahan hidup dua
tahun. Nyatanya, meski lumpuh, Hawking dapat bertahan hidup puluhan
tahun, bahkan dengan karya-karya fenomenal.
Hawking juga mau
menulis gagasan-gagasannya dalam bahasa populer. Dua buku populernya
yang terkenal dan sempat membuat heboh adalah The Brief History of Time
1998 dan Grand Design 2010. Heboh karena di dalam dua buku tersebut
Hawking menyinggung kejadian alam tanpa peran Tuhan.
Relativitas
umum dengan kosmologinya masuk dalam kategori hard science, sains keras,
sulit, dan berat. Sains modern yang berkembang sejak awal abad ke-20
terdiri atas dua teori utama, yaitu kuantum dan relativitas. Teori
kuantum dibangun oleh banyak fisikawan seperti Max Planck, Albert
Einstein, Arthur Compton, Louis de Broglie, Niles Bohr, dan Werner
Heisenberg. Teori kuantum menjadi kerangka kerja dunia mikroskopik dan
fondasi industri modern. Sebaliknya, teori relativitas umum (TRU) yang
merupakan teori geometri dan kerangka teori untuk makrokosmos dibangun
oleh Albert Einstein. Dari tingginya tingkat kesulitan teori ini,
ilmuwan menyebutkan bahwa JIKA Einstein tidak merumuskan TRU MAKA kita
tidak tahu kapan teori ini akan lahir.
Hawking termasuk sedikit
orang yang bekerja di ranah makrokosmos. Kosmologi yang sangat rumit
tersebut bahkan mungkin menjadi satu-satunya ketika kemudian kosmologi
digabung dengan teori kuantum, gravitasi kuantum. Maka, secara formal,
Hawking merupakan orang yang paling paham tentang perilaku alam semesta,
sejak jagat renik sampai jagat raya.
Hawking pun menjelajah ke
ruang angkasa luas dan dia dapatkan lubang hitam (black hole) di sana.
Lubang hitam disebut karena setiap objek, termasuk cahaya yang jatuh
padanya, tidak mungkin dapat keluar atau dipancarkan kembali sehingga
yang ada hanya kegelapan.
Hawking merambah wilayah perbatasan,
baik perbatasan alam semesta itu sendiri maupun perbatasan antara
wilayah sains, filsafat, dan agama. Di sini Hawking membuat banyak
pernyataan. Pada 2011, dalam Google’s Zeitgeist Conference, Hawking
menyatakan bahwa filsafat sudah mati. Bagi dia, masalah filsafat dapat
dijawab oleh sains, terutama teori-teori ilmiah baru. Sebenarnya
pernyataan serupa dalam redaksi yang lebih halus telah dibuat filsuf
eksistensialis Karl Jasper, sesuatu yang dapat dijelaskan oleh sains
tidak relevan dibahas oleh filsafat. Hawking menegaskan bahwa filsafat
bukan tidak relevan, tetapi telah mati.
Hawking juga membuat
banyak pernyataan tentang relasi agama dan Tuhan. Bagi dia, surga dan
neraka hanya mitos. Dia meyakini bahwa surga atau akhirat itu tidak ada.
Pada 1991, Hawking memberi kuliah di Universitas Kyoto. Saat itu
Hawking menyatakan bahwa alam dapat terjadi tanpa peran Tuhan. Semua
karena hukum-hukum fisika. Guru besar fisika teori ITB Prof Freddy
Permana Zen yang saat itu masih mahasiswa doktoral bertanya,”Hukum-hukum
fisika itu berasal dari mana?” Hawking terdiam tidak menjawab.
Pada 1998, Newsweek menampilkan judul sampul Science Finds God. Tampilan
ini menandai era baru, yaitu banyak ilmuwan yang berpikir tentang agama
dengan serius dan tak menganggap aktivitas ilmiah mereka bertentangan
dengan keberagamaan mereka. Isu tentang sains dan agama pun sudah masuk
ke ruang-ruang akademik. Patut dicatat juga di sini: para aktor
”gerakan” baru ini bukanlah kaum agamawan per se, melainkan terutama
adalah para ilmuwan sendiri -sebagian kecilnya dengan tambahan
pendidikan formal dalam teologi. Inilah wilayah perbatasan sains-agama
itu.
Fisikawan teolog Ian G. Barbour dalam When Science Meets
Religion membagi empat hubungan antara sains dan agama. Yakni, konflik,
dialog, independen, dan integrasi. Pernyataan-pernyataan Hawking dapat
dimasukkan sebagai relasi konflik, yang belakangan kurang mendapat
simpati dan orang menoleh pada dialog dan integrasi.
Rabu (14/3)
Hawking pergi untuk selamanya. Ungkapan-ungkapan yang terkesan ateistik
dalam tasawuf dapat dipandang sebagai fase syathahat sebelum seorang
hamba bersatu dengan Sang Pencipta, wihdatul wujud atau manunggaling
kawula Gusti. Kepergiannya kemungkinan besar bukan memasuki tahapan
manunggaling kawula Gusti, karena Hawking tidak percaya Sang Pencipta.