Penemuan gelombang gravitasi membuat dunia ilmiah gegap gempita, tetapi mungkin membuat publik mengernyitkan dahi.
Sementara kalangan ilmuwan bisa menyatakan bahwa penemuan ini
membuktikan kebenaran teori Albert Einstein dan membuka era fisika baru,
dunia awam mungkin masih bertanya-tanya, apa sebenarnya gelombang
gravitasi dan bagaimana penemuannya.
Gelombang gravitasi adalah sebuah gangguan atau riak di alam semesta
yang mahaluas, bisa diibaratkan sebuah riak di kolam tenang yang
terbentuk ketika kita mencelupkan dan menarik jari tangan kita di
dalamnya.
Namun demikian, tak seperti riak di kolam yang terlihat jelas, riak
kosmos ini begitu misterius sehingga tak seorang pun bisa melihat,
mendengar, atau merasakannya dengan indera keenam sekalipun.
Meski disebut kicauan alam semesta, gelombang gravitasi juga bukan
gelombang suara yang memerlukan medium untuk merambat. Gelombang itu
bisa merambat dari jarak miliaran tahun cahaya dan sampai ke bumi tanpa
perantara!
Gagasan adanya gelombang gravitasi tak lepas dari Teori Relativitas Umum
Einstein yang dikemukakan pada tahun 1916. Dalam teorinya, Einstein
menyatakan bahwa alam semesta adalah kain empat dimensi.
Gelombang gravitasi dihasilkan oleh obyek apa pun di alam semesta yang
mengalami perubahan kecepatan ataupun arah. Besar gelombang bervariasi
tergantung obyeknya.
Bumi sendiri bergerak mengelilingi matahari dan kecepatan serta arahnya
pun bervariasi walaupun relatif konstan. Jadi, bumi juga menghasilkan
gelombang gravitasi.
Dalam konteks penemuan terbaru kali ini, gelombang gravitasi dihasilkan
oleh dua lubang hitam yang masing-masing berukuran 36 dan 29 kali massa
matahari.
Dua lubang hitam itu telah "berpacaran" selama miliaran tahun. Mereka
semakin mendekat dari masa ke masa. Artinya, kecepatan berputar satu
sama lain pun terus berubah sehingga menghasilkan gelombang gravitasi.
Akhirnya beberapa waktu lalu dua lubang hitam itu kawin. Mereka bersatu
menjadi lubang hitam yang luar biasa massif, berukuran 62 kali massa
matahari.
Persatuan itu menghasilkan gelombang gravitasi yang luar biasa besar.
Besarnya bisa disetarakan dengan selisih antara jumlah massa lubang
hitam yang sebenarnya dengan massa lubang hitam baru yang terbentuk.
Dua lubang hitam bermassa 36 dan 29 kali matahari seharusnya membentuk
lubang hitam bermassa 65 kali matahari. Namun, yang terbentuk ternyata
62. Sisa 3 kali massa matahari itu yang dikonversi menjadi energi
gelombang gravitasi.
Ada beberapa usaha untuk mendeteksi gelombang gravitasi. Temuan baru
kali ini datang dari observasi dengan fasilitas Laser Interferometer
Gravitational-wave Observatory (LIGO).
LIGO mendeteksi gelombang gravitasi berdasarkan perubahan yang
diakibatkannya pada ruang dan waktu sekitarnya. Gelombang gravitasi akan
meregangkan ruang dan waktu di satu sisi, tetapi memampatkan lainnya.
LIGO sebenarnya merupakan satu set fasilitas yang terpisah 4 kilometer,
di Washington dan Lousiana. Keduanya dihubungkan oleh pipa vakum.
Dalam fasilitas LIGO, ada instrumen penembak laser. Laser akan terus
bergerak dalam saluran vakum dari fasilitas satu ke yang lain.
Jika tak ada gelombang gravitasi, jarak yang ditempuh laser akan selalu
sama sepanjang waktu. Namun, bila ada gelombang gravitasi yang datang,
jarak tempuh akan berubah.
Perubahan itu yang ditangkap. IGO dilengkapi oleh detektor mahasensitif
yang bisa menangkap perubahan yang sebenarnya amat kecil itu.
Bayangkan, perubahannya bukan lagi dalam ukuran milimeter, melainkan
lebih kurang hanya sepersepuluh ribu dari diameter sebuah atom!
Detektor telah dirancang sesensitif mungkin dan seselektif mungkin
sehingga perubahan karena adanya truk lewat dekat fasilitas, petir, atau
lainnya yang bukan gelombang gravitasi diabaikan.
LIGO dikembangkan sejak tahun 2002. Tahun 2010, fasilitas LIGO
dihentikan sementara untuk perbaikan. Pada September 2015 lalu, LIGO
beroperasi kembali.
Fasilitas LIGO setelah perbaikan dikenal dengan Advanced LIGO.
Singkatnya, fasilitas baru itu jauh lebih sensitif dan selektif dalam
menyaring kebisingan.
Advanced LIGO sebenarnya baru beroperasi pada 18 September 2015 lalu.
Namun, detektor yang telah dinyalakan beberapa hari sebelumnya ternyata
berhasil mendapatkan data pada 14 September 2015.
Data itulah yang kemudian dikonfirmasi sebagai petunjuk gelombang
gravitasi. Marco Drago dari Max Planck Institute for Gravitational
Physics adalah orang pertama yang mengetahui adanya kicauan itu.
Drago menjumpai kicauan sebagai lonjakan frekuensi gelombang, dari
normalnya 35 Hertz lalu memuncak menjadi 250 Hertz dan tiba-tiba saja
turun lagi.
Selain LIGO, fasilitas lain yang berusaha melacak gelombang gravitasi
adalah Laser Interferometer Space Antenna (LISA). Fasilitas ini dikelola
oleh Badan Antariksa Eropa (ESA).
Ada juga North American Nanohertz Observatory for Gravitational Waves
atau NANOGrav. Beda dengan LISA dan LIGO, NANOGrav tidak menggunakan
laser, tetapi melacak gelombang radio.